Meski menyatakan tidak ada unsur pemaksaan, Siska mengakui bahwa penjahit memang ditunjuk oleh pihak sekolah.
“Sudah dari tahun ke tahun kami tunjuk penjahit yang sama. Tapi kalau ada siswa yang sudah punya seragam lama atau ingin jahit sendiri, ya silakan saja,” ujarnya.
Diketahui, tahun ini SMPN 4 Merangin menerima 352 siswa baru dan 3 siswa pindahan. Jika semua membayar biaya seragam yang sama, maka potensi perputaran uang dari sektor ini bisa mencapai hampir Rp600 juta rupiah hanya dalam satu tahun ajaran.
Publik pun mulai mempertanyakan transparansi dan urgensi pengadaan seragam dalam jumlah dan model sebanyak itu, termasuk vest yang belum tentu relevan untuk semua siswa. Apalagi, dalam kondisi ekonomi masyarakat yang sedang goyang secara tidak sengaja terdampak efesiensi anggaran. Beban biaya pendidikan seperti ini menambah tekanan tersendiri.
Pemerhati pendidikan dan sosial mendesak Dinas Pendidikan Merangin untuk segera turun tangan. Mereka menilai, pembiaran terhadap pungutan-pungutan seperti ini bisa menimbulkan ketimpangan sosial dalam akses pendidikan.
“Sekolah negeri bukan tempat bisnis, dan seragam bukan ladang cuan. Pemerintah harus segera bertindak agar pendidikan tetap inklusif dan terjangkau untuk semua,” ujar Ali, aktivis muda Merangin.
Di tengah semangat pendidikan gratis, mahalnya seragam sekolah kembali menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar dunia pendidikan tak berubah menjadi pasar bebas yang hanya berpihak pada mereka yang mampu. (Supmedi)

Leave a Reply