560 miliar rupiah. Angka yang mencengangkan, menjadi “oleh-oleh pahit” dari pemerintahan sebelumnya. Kini berada di tangan Muchendi Supri, warisan defisit ini bukan sekadar beban anggaran, tapi ujian besar: apakah pemerintahan barunya sanggup keluar dari pusaran utang yang mengancam masa depan daerah?
Regulasi Tegas: Jangan Main-main dengan Batas Utang
Pemerintah pusat telah mengatur secara tegas soal batas utang daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71/PMK.07/2023 tentang Pengelolaan Pinjaman Daerah, disebutkan bahwa:
“Besaran kewajiban pembayaran pokok pinjaman dan bunga dalam satu tahun anggaran tidak boleh melebihi 10% dari jumlah Pendapatan Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.”
Jika pemerintah daerah melanggar batas tersebut, sanksi administratif dari pusat mengancam, mulai dari penundaan dana transfer, pemotongan dana alokasi umum, hingga pembatasan pengajuan pinjaman di masa mendatang.
Contoh Nyata: Daerah Tumbang Akibat Utang
Kasus serupa pernah terjadi di beberapa daerah. Sebut saja Kabupaten Pesisir Selatan (Sumatera Barat), yang pada tahun 2022 harus menghadapi penundaan dana transfer akibat tidak mampu mengendalikan defisit anggaran melebihi ambang batas. Akibatnya, banyak program pembangunan tersendat, gaji pegawai sempat tertunggak, dan kepercayaan publik runtuh.
Demikian juga Kabupaten Gunung Kidul (DIY), pada tahun 2021 pernah mendapat teguran dari Kemenkeu karena rasio utangnya hampir menyentuh batas 10%. Pemerintah pusat kala itu bahkan mengancam menahan Dana Alokasi Umum (DAU) jika tidak segera dilakukan koreksi kebijakan anggaran.
Kedua contoh ini menjadi alarm keras. Pemerintahan Muchendi Supri tak boleh lengah, karena potensi sanksi serupa sangat mungkin terjadi jika tidak segera ada langkah konkret.
Audit Forensik & Keberanian Politik
Langkah pertama dan terpenting adalah audit forensik menyeluruh terhadap penggunaan utang masa lalu. Transparansi adalah kunci. Rakyat wajib mengetahui, apakah 560 miliar itu benar-benar digunakan untuk kepentingan publik atau justru menjadi ladang bancakan elit tertentu.
Lebih dari itu, ini juga ujian keberanian politik. Apakah Muchendi Supri berani menindak tegas jika ditemukan adanya pelanggaran, sekalipun yang terlibat adalah orang-orang dari lingkaran kekuasaan sebelumnya? Ataukah ia memilih diam demi menjaga harmoni politik, sementara rakyat terus menanggung beban?
Jangan Gali Lubang Tutup Lubang
Solusi tambal sulam seperti menambah utang baru untuk menutup utang lama harus dihindari. Pemerintah harus berani memangkas belanja tidak produktif, mengevaluasi proyek-proyek seremonial, dan menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara kreatif tanpa membebani rakyat kecil.
Kesimpulan
560 miliar bukan sekadar angka, melainkan cermin buruknya tata kelola keuangan masa lalu. Dengan adanya PMK 71/2023 dan preseden daerah lain yang sudah dikenai sanksi, tidak ada ruang lagi untuk main-main.
Pemerintahan Muchendi Supri harus menjawab tantangan ini: membongkar borok lama, memperbaiki sistem, atau sekadar menjadi kelanjutan dari kegagalan sebelumnya.
Rakyat menunggu, bukan janji, tetapi tindakan konkret.
Penulis adalah wartawan dan pemerhati sosial politik.