Pengadilan Agama Kayuagung kembali menjadi sorotan publik setelah kasus Sukasmi binti Supadi mencuat. Perempuan asal Desa Sukapulih, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah menerima panggilan sidang sebelum akta cerai atas namanya diterbitkan. Ironisnya, saat kejadian tersebut, Sukasmi tengah mengandung tujuh bulan. Kondisi ini membuatnya merasa hak-haknya diabaikan oleh lembaga peradilan yang seharusnya memberikan perlindungan hukum.

Kasus ini tidak hanya menjadi potret permasalahan individu, tetapi juga membuka persoalan sistemik dalam pelayanan Pengadilan Agama. Transparansi, akuntabilitas, serta tata kelola yang baik kembali menjadi pertanyaan publik. Bagaimana mungkin sebuah keputusan hukum dapat diambil tanpa prosedur yang jelas dan terbuka? Dugaan praktik transaksional hingga lambannya proses hukum turut mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga yang mestinya menjadi garda depan penegakan keadilan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. An-Nisa: 58)

Baca juga :  Jembatan di Desa Kandis OKI Ambruk, Warga Minta Pemerintah Segera Bertindak

Pengadilan Agama Kayuagung, yang sebelumnya telah menyandang predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK), diharapkan mampu menjaga standar pelayanan bersih dan berintegritas. Namun, penghargaan formal tersebut tampaknya belum cukup mencerminkan komitmen institusi ini. Kasus Sukasmi menjadi bukti bahwa penghargaan tanpa reformasi mendasar tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat.

Digitalisasi melalui sistem e-Court yang telah diluncurkan oleh Mahkamah Agung seharusnya menjadi solusi untuk meningkatkan transparansi dan mempercepat proses hukum. Namun, implementasi sistem ini di daerah masih jauh dari optimal. Padahal, layanan berbasis digital semestinya mempermudah akses masyarakat terhadap informasi dan menutup ruang bagi praktik yang tidak sesuai aturan.