Direktur Apel Green Aceh, Syukur juga menilai cara kerja pemerintah ini sama sekali tidak memihak rakyat korban kerusakan lingkungan, sebaliknya justru memihak investasi energi kotor.
“Sementara nelayan kini tak lagi hanya menarik ikan, tapi batubara yang tumpah di laut, petani yang dulu panen hingga 4 ton per hektar kini hanya mendapat 30 kilogram beras, sebuah kemunduran tragis yang dibiarkan begitu saja. Sementara itu, di sekitar PLTU, ratusan warga menderita ISPA dan penyakit kulit, namun negara seakan tutup mata,” katanya.
Ia pun mempertanyakan penerapan pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menjanjikan kemakmuran bagi rakyat. Ia menegaskan, jika Kementerian Lingkungan Hidup tak segera bertindak, maka jelas sudah, negara lebih peduli pada Batubara daripada nyawa warganya.
Pernyataan Syukur ini diperkuat Aldi Ferdian dari Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, yang menyebutkan bahwa, tumpahan Batubara yang terjadi di pesisir pantai Aceh Barat membuktikan penindasan terhadap rakyat oleh korporasi Batubara. Jika tidak ada tindakan tegas dan nyata dari pemerintah maka ia menilai negara turut melanggengkan tindakan korporasi yang menindas rakyat.
Sementara Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas menilai situasi negara saat ini seperti dilanda malam sepanjang masa, cita-cita pensiun dini PLTU hanya omon-omon. Pengaduan hasil pemantauan yang dilakukan di berbagai daerah se Sumatera menunjukkan urgensi untuk menjalankan pengawasan dan memberikan sanksi tegas terhadap aktivitas PLTU yang merusak dan mencemari lingkungan. Hal ini sejalan dengan fungsi pengawasan sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang direvisi dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
“Persoalan penumpukan FABA batu bara di Tenayan Raya bersifat mendesak untuk ditindaklanjuti, pasalnya area tersebut menjadi rawan banjir dan longsor, bahkan menurut masyarakat belum ada jaminan pemulihan dan tindakan tegas hingga saat ini kepada pihak PLTU Tenayan Raya dan kami juga turut mendesak untuk adanya pemulihan Sungai Siak yang tak kunjung dilakukan, walaupun sudah bertahun-tahun tercemar yang pada akhirnya seluruh nelayan yang memanfaatkan Sungai Siak hidup menderita berkepanjangan,” kata Andri.
Selanjutnya, Deri Sopian, dari Lembaga Tiga Beradik (LTB) Jambi, menjelaskan laporan dugaan pelanggaran yang dilakukan PT. Permata Prima Elektrindo Semaran, Pauh, Sarolangun Jambi melalui situs lapor.go.id diharapkan segera mendapat respon dari Kementerian LH.
“Karena dari pantauan lapangan yang dilakukan, lokasi penumpukan limbah FABA PLTU berada di lokasi terbuka tanpa pembatas keamanan dan berada di lokasi yang rawan banjir. Kami menduga hal ini akan menyebabkan tercemarnya anak Sungai Ale dan Tembesi saat sungai Tembesi meluap, karena luapan sungai Tembesi sampai ke lokasi pembuagan FABA,” ucapnya.
Lalu, Aji Surya, Pengkampanye Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara menilai alih-alih membawa terang, kehadiran PLTU batu bara justru menyelimuti Sumatera dengan asap pekat dan abu beracun.
“Di Sumut operasi PLTU Pangkalan Susu membuat petani menjual sawahnya, nelayan tidak lagi mendapatkan ikan, penyakit seperti ISPA, penyakit kulit sudah jadi hal normal, bahkan anak-anak harus terus mengkonsumsi obat – obatan setiap harinya agar terhindar dari penyakit. ni bukan transisi energi seperti yang dijanjikan, ini adalah tragedi lingkungan,” kata Aji.
Sementara Prabowo Pamungkas, Kadiv Advokasi LBH Lampung menambahkan, operasional PLTU Sebalang dan Tarahan membuat lingkungan tercemar karena ceceran batubara sepanjang jalan dalam proses pengangkutan serta merusak jalan di kampung-kampung yang dilalui truk pengangkut batubara.
Di sisi lain, saat diperiksa, website https://pengaduan.menlhk.go.id/ masih dalam proses MAINTENANCE/PERBAIKAN, hal ini tentunya menjadi penghambat dalam menyampaikan laporan kerusak lingkungan. (**)

Leave a Reply