BERITA  

Negeri Emas di Atas Luka

Opini oleh ; Ali Prawinata, S.H., M.H.

“Rasakan rasa sakit. Renungkan rasa sakit itu. Terimalah rasa sakit. Pahamilah apa itu rasa sakit. Mulai dari sini… akan kuberikan rasa sakit kepada dunia.”

— Pain, Akatsuki.
Tak perlu ninja jahat untuk membuat Jambi menderita. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: jalan berlubang, tambang emas ilegal, anak putus sekolah, air sungai keruh, dan iring-iringan mobil pejabat yang lewat tanpa pernah berhenti menoleh ke kiri-kanan.

Sejak 2013, hutan-hutan lindung dibabat tanpa ampun. Di perut tanah terkandung emas, di permukaannya hanya ada kebisingan mesin, debu, dan lubang menganga. Lubang itu kini menjalar ke hukum, ke pengawasan, bahkan ke hati nurani para pemangku jabatan. Semuanya seakan menjadi bagian dari ekosistem yang sama: ambil yang bisa diambil, bungkam yang berisik, lalu rapatkan barisan di depan kamera.

Batu bara? Ah, jangan ditanya. Jalan Nasional macet saban hari, truk-truk melata bagai ular tambun. Anak sekolah telat, pasien tertahan, ekonomi lokal tersendat. Tapi apa boleh buat, batu bara menyumbang PAD. Maka rakyat harus belajar bersabar. Sabar di jalan, sabar di lobang, sabar di kesempitan hidup.

Di daerah-daerah pedalaman, angka putus sekolah terus naik. Tak ada guru, tak ada buku, kadang tak ada gedung. Tapi pemerintah lokal tetap rajin studi banding ke luar negeri. Mencari inspirasi pembangunan, katanya. Entah mengapa, yang terbang semakin banyak, tapi yang tertinggal tetap itu-itu saja: rakyat kecil.

Kesehatan pun begitu. Rumah sakit kekurangan tenaga, puskesmas tak punya obat, ibu hamil harus ditandu di jalan rusak. Tapi anggaran untuk peresmian gedung baru jalan terus. Spanduk digelar, prasasti dipasang, kamera bergelora. Ironi? Tidak. Ini sudah jadi SOP.

Korupsi, kolusi, nepotisme? Tak nampak. Bukan karena tak ada, tapi karena terlalu dekat. Semua tahu, semua diam. Ada yang disebut “oknum”, tapi tak pernah disebut siapa. Operasi gabungan pun nyaris selalu nihil hasil.

Apakah intel kita sedang cuti berjamaah?
Di tengah semua ini, masyarakat hanya bisa menerima. Suara-suara yang bertanya dianggap provokasi. Yang bersuara keras dibilang sakit hati karena tak kebagian proyek. Maka lebih baik diam, selamat, dan pasrah.

Jambi hari ini bukan sekadar potret daerah yang rawan korupsi. Ia adalah etalase Indonesia kecil: kaya sumber daya, miskin keadilan. Di atas tanah yang mengandung emas dan batu bara, rakyat hanya mendapat debu dan lubang.

Shinra Tensei tak akan datang. Tapi rasa sakit itu nyata, dan ia terus bekerja diam-diam—mengikis kepercayaan rakyat kepada negaranya sendiri. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *