“Rasakan rasa sakit. Renungkan rasa sakit itu. Terimalah rasa sakit. Pahamilah apa itu rasa sakit. Mulai dari sini… akan kuberikan rasa sakit kepada dunia.”
— Pain, Akatsuki.
Tak perlu ninja jahat untuk membuat Jambi menderita. Rasa sakit sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: jalan berlubang, tambang emas ilegal, anak putus sekolah, air sungai keruh, dan iring-iringan mobil pejabat yang lewat tanpa pernah berhenti menoleh ke kiri-kanan.
Sejak 2013, hutan-hutan lindung dibabat tanpa ampun. Di perut tanah terkandung emas, di permukaannya hanya ada kebisingan mesin, debu, dan lubang menganga. Lubang itu kini menjalar ke hukum, ke pengawasan, bahkan ke hati nurani para pemangku jabatan. Semuanya seakan menjadi bagian dari ekosistem yang sama: ambil yang bisa diambil, bungkam yang berisik, lalu rapatkan barisan di depan kamera.
Batu bara? Ah, jangan ditanya. Jalan Nasional macet saban hari, truk-truk melata bagai ular tambun. Anak sekolah telat, pasien tertahan, ekonomi lokal tersendat. Tapi apa boleh buat, batu bara menyumbang PAD. Maka rakyat harus belajar bersabar. Sabar di jalan, sabar di lobang, sabar di kesempitan hidup.
Di daerah-daerah pedalaman, angka putus sekolah terus naik. Tak ada guru, tak ada buku, kadang tak ada gedung. Tapi pemerintah lokal tetap rajin studi banding ke luar negeri. Mencari inspirasi pembangunan, katanya. Entah mengapa, yang terbang semakin banyak, tapi yang tertinggal tetap itu-itu saja: rakyat kecil.

Leave a Reply