BERITA, OKI  

Muchendi, Defisit Rp560 Miliar Menanti Langkah Berani

Oleh : Trisno Okonisator. Pemerhati kebijakan Publik.

Muchendi Mahzarekki kini duduk di kursi panas sebagai Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) terpilih untuk periode 2025-2030. Tantangan besar telah menanti di hadapannya: defisit anggaran sebesar Rp560 miliar yang membebani keuangan daerah. Jumlah yang tidak sedikit ini harus segera diatasi, mengingat dampaknya terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Defisit ini bukan sekadar angka yang tercatat dalam laporan keuangan. Ia mencerminkan masalah serius dalam pengelolaan anggaran yang harus segera dibenahi. Pemerintah Kabupaten OKI perlu lebih transparan menjelaskan kepada publik mengenai faktor-faktor penyebab defisit ini. Apakah disebabkan oleh ketidakefisienan belanja, turunnya pendapatan, atau ada faktor lain yang selama ini terabaikan?

Namun, yang lebih memprihatinkan adalah warisan yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, yakni pemerintahan Iskandar. Selama sepuluh tahun memimpin, Iskandar gagal melakukan reformasi dalam pengelolaan keuangan daerah. Alih-alih menciptakan kestabilan, ia justru meninggalkan “utang menumpuk” yang kini harus ditanggung oleh pemerintahan baru. Sesuai dengan pepatah “di mana bumi dipijak, di situ hutang ditanggung,” Muchendi kini terpaksa memikul beban tersebut.

Warisan buruk tersebut sangat jelas, mulai dari pemborosan anggaran yang tidak terkontrol, hingga ketidakmampuan dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara maksimal. Pemerintah Iskandar terlalu bergantung pada dana transfer dari pusat dan tidak berusaha keras untuk meningkatkan pendapatan lokal. Akibatnya, defisit ini terus membesar dan menambah beban keuangan daerah yang kini menjadi tanggung jawab Muchendi.

Sebagai pemimpin baru, Muchendi tidak bisa hanya melanjutkan kebijakan lama tanpa evaluasi yang mendalam. Langkah-langkah tegas dan inovatif perlu segera diambil untuk mengelola anggaran dengan lebih bijak. Salah satu solusinya adalah dengan menggali potensi PAD yang lebih optimal. OKI harus lebih cerdas dalam memanfaatkan sumber daya lokal, daripada terus bergantung pada dana dari pusat yang sering kali tidak mencukupi.

Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah berkewajiban menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang tentunya harus didukung oleh pengelolaan keuangan yang efisien dan efektif. Untuk itu, langkah untuk mengoptimalkan PAD menjadi sangat penting.

Namun, di balik upaya menaikkan PAD, belanja daerah juga perlu mendapat perhatian khusus. Sebagaimana yang disampaikan oleh almarhum Faisal Basri, ekonom senior Indonesia, dalam sebuah diskusi pada 2022, banyak daerah terjebak dalam defisit bukan hanya karena pemasukan yang kurang, tetapi juga karena belanja yang boros dan tidak efisien. Setiap pengeluaran harus benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat, bukan sekadar menambah beban.

Pasal 24 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. Oleh karena itu, untuk menghindari pemborosan anggaran, pengeluaran daerah harus disesuaikan dengan prioritas pembangunan dan kebutuhan masyarakat.

Pengamat ekonomi Yusuf Wibisono juga mengingatkan bahwa defisit anggaran yang berkelanjutan akan memperburuk situasi keuangan daerah. Ia menegaskan bahwa masalah utama terletak pada rendahnya penerimaan daerah dan ketidakmampuan untuk menekan belanja yang tidak produktif. Peringatan ini harus menjadi perhatian serius bagi Muchendi, agar ia tidak terjerumus pada kesalahan yang sama.

Pasal 8 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga mengatur mengenai kewajiban daerah untuk mengelola keuangan dengan memperhatikan prinsip akuntabilitas dan transparansi agar tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam kepemimpinan Muchendi. Masyarakat OKI berhak untuk mengetahui secara jelas kondisi keuangan daerah mereka dan apa saja langkah yang akan diambil pemerintah untuk mengatasi defisit ini. Jika defisit ini berasal dari kebijakan yang kurang tepat di masa lalu, maka Muchendi harus memastikan agar kesalahan tersebut tidak terulang.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mewajibkan pemerintah daerah untuk memberikan akses informasi kepada publik terkait dengan pengelolaan anggaran dan kebijakan yang diambil. Transparansi adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi.

Keberhasilannya dalam menangani defisit anggaran ini akan menjadi ujian pertama bagi kepemimpinannya. Jika ia berhasil menyehatkan keuangan daerah dan memperbaiki tata kelola anggaran, kepercayaan publik terhadap pemerintahannya akan semakin meningkat. Sebaliknya, jika langkah-langkah yang diambil tidak efektif, maka ketidakpastian keuangan akan terus menghantui, menghambat pembangunan, dan merugikan masyarakat OKI.

Kini, semua mata tertuju pada Muchendi. Apakah ia mampu mengambil langkah berani untuk mengatasi krisis keuangan ini? Waktu yang akan menjawab.(Rel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *