Kepemimpinan yang efektif di era modern ini tidak hanya diukur dari kebijakan yang dikeluarkan, tetapi juga dari sejauh mana kebijakan tersebut menyentuh dan memberdayakan rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata ‘merakyat’ adalah ‘sampai ke rakyat,’ yang mencerminkan esensi dari kepemimpinan yang responsif dan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Ini berarti bahwa segala tindakan, kebijakan, atau pendekatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau pejabat harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat umum. Merakyat bukan sekadar retorika atau formalitas, tetapi mencerminkan bahwa upaya tersebut benar-benar menyentuh dan berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat.

Oleh karena itu, konsep merakyat mengacu pada pendekatan atau sikap pemimpin yang tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak demi kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin yang benar-benar “merakyat” akan terlibat aktif dalam mendengarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan publik. Ini lebih dari sekadar retorika atau janji-janji kosong; konsep ini mengharuskan adanya tindakan nyata yang dapat diukur dampaknya pada kehidupan sehari-hari rakyat.

Baca juga :  Untuk di Pahami Bersama

Namun, dalam praktiknya, klaim merakyat dan pejuang rakyat seringkali bertentangan dengan realitas yang ada. Dalam konteks kepemimpinan daerah, seorang pemimpin layak disebut sebagai “pejuang rakyat” jika ia tidak hanya menduduki jabatan formal, tetapi benar-benar memperjuangkan kepentingan umum. Gelar ini tidak bisa diberikan begitu saja hanya karena seseorang berada di posisi kekuasaan, melainkan harus dibuktikan melalui kebijakan yang nyata dan berdampak positif. Sayangnya, kondisi di lapangan seringkali tidak sejalan dengan klaim tersebut. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan yang cukup signifikan dalam kesejahteraan masyarakat.

Sebagai contoh, laporan dari BPS Tanjung Jabung Timur pada tahun 2021 menunjukkan peningkatan persentase penduduk miskin menjadi 11,39 persen, dibandingkan dengan 10,95 persen di tahun 2020. Hal ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Selain itu, hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) mencatat prevalensi stunting di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang mencapai 25,6 persen pada tahun 2021. Meskipun angka ini sempat turun menjadi 22,5 persen di tahun 2022, data terbaru menunjukkan peningkatan kembali menjadi 23,7 persen pada tahun 2023. Hasil ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Kabupaten Tanjung Jabung Timur merupakan yang tertinggi di antara 11 kabupaten/kota di Provinsi Jambi.

Baca juga :  Dumisake: Membangun Kemandirian Pertanian dan Peternakan di Jambi