Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, kini mulai diimplementasikan secara bertahap, termasuk di Sumatera Selatan. Program ini merupakan janji kampanye yang kini diwujudkan dalam kebijakan konkret, sekaligus menandai komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas gizi pelajar di Indonesia.
Kehadiran MBG tentu membawa optimisme bagi masyarakat, terutama bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah yang selama ini menghadapi tantangan dalam pemenuhan gizi anak-anak mereka. Program ini diharapkan mampu mengurangi angka malnutrisi dan meningkatkan daya konsentrasi siswa dalam proses belajar. Dengan pola lima hari sekolah yang diterapkan saat ini, tidak sedikit siswa yang datang ke sekolah tanpa sarapan atau makan siang yang memadai. MBG bisa menjadi solusi untuk memastikan setiap anak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup.
Namun, dalam pelaksanaannya, program ini tidak lepas dari kritik dan tantangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah besarnya anggaran yang harus dialokasikan. Dengan jumlah siswa yang mencapai jutaan di seluruh Indonesia, pendanaan MBG tentu tidak sedikit. Namun, hal ini semestinya telah dihitung dan direncanakan dengan matang. Efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara menjadi kunci agar program ini tidak menjadi beban fiskal yang berlebihan.
Selain itu, ada pula kekhawatiran mengenai potensi penyimpangan dalam distribusi dan pengelolaan dana MBG. Program yang melibatkan rantai pasokan panjang dan berbagai pihak berpotensi menimbulkan celah korupsi jika tidak diawasi dengan ketat. Oleh karena itu, pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program ini harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel. Audit berkala serta keterlibatan masyarakat dalam pemantauan dapat menjadi langkah preventif untuk mencegah potensi penyalahgunaan.
Menurut Dr. Anwar Susilo, pakar kebijakan publik dari Universitas Indonesia, dalam diskusi kebijakan publik yang digelar pada awal Februari 2025 dan dilaporkan oleh Harian Nasional, “Program MBG adalah langkah yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui asupan gizi yang lebih baik. Namun, agar berjalan efektif, pemerintah harus memastikan adanya pengawasan ketat dan distribusi yang merata agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh semua siswa.”kata Susilo.
Dari sisi dampak ekonomi, MBG sejatinya dapat menjadi pemicu pertumbuhan bagi sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Jika implementasinya melibatkan para petani, peternak, dan pedagang kecil sebagai penyedia bahan makanan, maka program ini tidak hanya memberi manfaat bagi pelajar, tetapi juga menggerakkan roda perekonomian masyarakat bawah. Namun, perlu dipastikan agar kebijakan ini tidak justru menguntungkan segelintir pihak dengan praktik monopoli pasokan pangan.
Sebagai sebuah kebijakan besar dan baru, pro-kontra terhadap MBG adalah hal yang wajar. Yang terpenting adalah bagaimana program ini dikelola dengan profesionalisme, transparansi, dan efisiensi. Jika dilaksanakan dengan baik, MBG bukan hanya sekadar janji kampanye yang terealisasi, tetapi juga bisa menjadi investasi jangka panjang bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Keberhasilan MBG bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan media dalam mengawal implementasinya. Kritik dan saran konstruktif harus menjadi bagian dari upaya perbaikan agar program ini dapat berjalan secara optimal dan benar-benar memberikan manfaat bagi mereka yang membutuhkan.(**)