Pagi masih muda. Matahari baru saja menyingkap kabut yang menggantung di atas aspal penuh tambalan. Seorang pemimpin bersepeda santai, disusul rombongan pejabat dan fotografer pribadi. Di sisi jalan, anak sekolah melompat menghindari genangan, sopir ojek memaki lubang yang nyaris menumbangkan motornya, dan warga hanya bisa geleng-geleng—antara heran dan pasrah.
Di layar Instagram, foto sang pemimpin tampil sempurna. Senyum lebar, kaus olahraga bermerek, tagar #TurunLangsung dan #DekatDenganRakyat. Caption-nya heroik: “Kami dengar suara rakyat, kami lihat langsung kondisi lapangan.”
Tapi rakyat tak butuh dilihat. Mereka butuh jalan yang mulus.
Seperti kata Tan Malaka, revolusi tak diukur dari jumlah foto, tapi dari hasil nyata. Pemimpin yang terlalu sibuk menebar citra hanyalah pelukis bayangan kekuasaan: indah dari jauh, kosong saat disentuh.
Tan Malaka menyebut elit palsu sebagai “tuan baru dalam kulit lama”—penguasa yang berdiri di atas mimbar rakyat, tapi lebih suka mencatat statistik pujian daripada suara amarah. Di kota kecil seperti Bangko, lubang di jalan adalah jejak literal dari kegagalan struktural. Ia tak bisa ditutup dengan kata-kata manis, apalagi dengan program “revolusi infrastruktur” yang hanya kuat di papan reklame.
Bayangkan: lubang di jalan tetap di tempatnya. Tapi pemimpin datang, joging, unggah foto, rapat, lalu pulang. Besoknya, lubang masih ada. Bulan depan, lubang makin lebar. Mungkin, lubang itulah satu-satunya yang konsisten dari rezim ke rezim.
Yang membuat geli, rakyat kerap disuguhi sandiwara birokrasi. Proyek diumumkan, anggaran dibacakan, survei dilakukan—tapi aspal tak kunjung ditebar. “Kita sudah prioritaskan,” kata pejabat. Prioritas macam apa yang membiarkan seorang ibu melahirkan di atas becak karena ambulans tak bisa lewat?
Mungkin lubang itu memang bagian dari desain. Supaya rakyat tak bisa berlari terlalu cepat dari kemiskinan. Atau sekadar agar proyek tambal sulam bisa terus diputar saban tahun, seperti lagu lama yang tak pernah bosan diputar di ruang rapat.
Dan sementara warga berharap pada keajaiban, pemimpin kita sibuk membuka turnamen voli antar-RT dengan latar panggung bergambar dirinya sedang menanam pohon.
Dalam Madilog, Tan Malaka menekankan bahwa logika materialisme tak bisa dipisahkan dari realitas rakyat.
Jalan berlubang adalah simbol. Ia bukan semata-mata hasil cuaca buruk atau beban kendaraan, melainkan efek domino dari sistem yang bobrok: proyek dijual pada rekan, pengawasan lemah, laporan di-mark up, dan semua senang asal jatah mengalir.
Kalau Tan Malaka hidup hari ini, barangkali ia akan bilang:
“Jalan berlubang adalah cermin. Siapa yang tak malu menatapnya, dialah penindas sejati.”
Sayangnya, sebagian pejabat lebih takut pada komentar media sosial daripada pada murka sejarah.
Dan bicara soal murka—lihatlah bagaimana guru yang menyampaikan kritik di media sosial justru diminta “klarifikasi”. Di negeri yang mengaku demokratis ini, kritik adalah perkara berisiko. Pemimpin boleh viral, tapi rakyat jangan terlalu vokal.
Sungguh ironi: yang membiarkan jalan rusak bebas bersliweran, tapi yang bicara jujur malah harus tiarap.
“Pemimpin kita luar biasa,” kata seorang pedagang sambil menepuk motornya yang pelek-nya penyok. “Dia bisa joging di atas lubang dan tetap percaya diri.”
Di negeri para influencer, pencitraan lebih penting dari pembangunan. Tak heran, rakyat mulai berpikir: barangkali lubang-lubang ini sengaja dibiarkan untuk memberi panggung dramatis bagi blusukan dadakan. Semacam panggung sandiwara jalanan—versi anggaran miliaran.
Dan jika kita terus diam, lubang itu akan jadi warisan. Jalan-jalan akan tetap berlubang, guru akan tetap diklarifikasi, dan pemimpin akan tetap tersenyum di atas sepeda, mengayuh menuju likes berikutnya.
Sementara itu, kita—rakyat biasa—hanya bisa menonton dari pinggir jalan, sambil berharap satu hal kecil:
Semoga lubang di jalan tak sebesar lubang nurani mereka.
Ali Prawinata, S.H., M.H.
Penulis tinggal di Merangin, Jambi, dan sedang menunggu kapan jalan itu akhirnya diaspal. (**)