Bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen untuk berlatih menahan diri, termasuk dalam hal konsumsi. Namun, realitanya, justru di bulan suci ini pengeluaran rumah tangga melonjak drastis. Pasar tradisional hingga pusat perbelanjaan modern dipadati pembeli. Belanja online pun meningkat, didorong oleh diskon dan promosi bertema Ramadhan.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Setiap tahun, konsumsi masyarakat selama Ramadhan cenderung naik, seakan ada dorongan untuk “balas dendam” setelah seharian berpuasa. Berbuka dengan makanan berlimpah, membeli pakaian baru untuk Lebaran, serta memborong barang-barang diskon menjadi kebiasaan yang sulit dihindari. Namun, apakah ini sejalan dengan esensi Ramadhan itu sendiri?

Mengapa Masyarakat Menjadi Konsumtif?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan perilaku konsumtif ini semakin mengakar. Pertama, aspek psikologis. Setelah menahan lapar dan haus seharian, muncul keinginan untuk makan lebih banyak saat berbuka. Sayangnya, sering kali ini berujung pada pemborosan. Kedua, tekanan sosial. Tren belanja Ramadhan, baik di dunia nyata maupun media sosial, mendorong orang untuk membeli lebih dari yang mereka butuhkan. Ketiga, strategi pemasaran. Perusahaan berlomba-lomba menarik perhatian dengan promo besar-besaran, membuat konsumen tergoda untuk membeli barang yang sebenarnya tidak mendesak.

Baca juga :  GMPK OKI Gelar Diskusi Kebangsaan

Dampaknya pun tak bisa dianggap sepele. Selain beban finansial yang meningkat, pola konsumsi berlebihan juga berpotensi meningkatkan inflasi. Harga bahan pokok naik karena permintaan melonjak, sementara di sisi lain, ada kelompok masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka.