Satu per satu, kasus korupsi di berbagai lembaga negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus terbongkar. Jumlahnya tidak main-main—triliunan rupiah raib, mengalir ke kantong segelintir elite. Dari skandal Dana Haji, ASABRI, Jiwasraya, hingga yang terbaru di PT Timah dan Pertamina, kasus-kasus ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Di saat yang sama, pemerintah justru meluncurkan Danantara, holding investasi nasional yang diklaim sebagai strategi baru untuk mengelola aset negara. Namun, kehadiran Danantara justru memunculkan pertanyaan besar: apakah ini solusi, atau justru ancaman baru bagi ekonomi Indonesia?

IHSG yang terus melemah—turun dari 7.000 ke kisaran 6.000—menjadi indikasi jelas bahwa pasar merespons dengan skeptisisme. Investor mulai menarik dananya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar, dan ancaman resesi pun membayang.

Danantara: Harapan atau Justru Masalah Baru?

Sejak awal, banyak yang mempertanyakan model bisnis Danantara. Pemerintah mengklaim holding ini akan memperkuat ekonomi nasional dan mengoptimalkan pengelolaan aset negara, tetapi pada kenyataannya, modal awalnya dipertanyakan.

Baca juga :  ASKAB PSSI OKI Gelar Turnamen Piala ASKAB U-15: Seleksi 22 Atlet Terbaik untuk Piala Gubernur Sumsel 2025

“Bagaimana mungkin kita membentuk holding investasi negara di tengah defisit anggaran yang masih Rp400 triliun?” kata seorang ekonom yang enggan disebutkan namanya. “Kalau tidak ada sumber pendanaan yang jelas, apakah Danantara hanya akan menjadi cara lain untuk merombak aset BUMN?”

Di atas kertas, Danantara digadang-gadang memiliki kekayaan hingga Rp14.000 triliun. Namun, angka ini bukan berbentuk uang tunai melainkan akumulasi aset BUMN yang sebagian besar berbentuk infrastruktur, saham, dan sumber daya alam. Dengan kata lain, Danantara hanya bisa berjalan jika aset-aset ini bisa dioptimalkan, bukan sekadar dicatat sebagai angka di laporan keuangan.

Masalahnya, kondisi BUMN sendiri tidak sedang baik-baik saja. Garuda Indonesia, Taspen, dan ASDP misalnya, masih dalam bayang-bayang utang besar. Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, terpaksa merumahkan 15 ribu karyawannya akibat tekanan ekonomi. Jika perusahaan-perusahaan ini dimasukkan ke dalam Danantara tanpa restrukturisasi yang jelas, bukannya memperkuat ekonomi, holding ini justru bisa menjadi beban baru bagi negara.

Ekonomi Tertekan, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Baca juga :  Konsisten dan Komitmen Berdayakan Masyarakat Sekitar, PT.OKI Pulp & Paper Mills Raih CSR Award