Danantara, Korupsi BUMN, dan Ancaman Ekonomi: Antara Harapan dan Kekhawatiran.

Oleh : Trisno Okonisator.

Satu per satu, kasus korupsi di berbagai lembaga negara dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus terbongkar. Jumlahnya tidak main-main—triliunan rupiah raib, mengalir ke kantong segelintir elite. Dari skandal Dana Haji, ASABRI, Jiwasraya, hingga yang terbaru di PT Timah dan Pertamina, kasus-kasus ini semakin mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Di saat yang sama, pemerintah justru meluncurkan Danantara, holding investasi nasional yang diklaim sebagai strategi baru untuk mengelola aset negara. Namun, kehadiran Danantara justru memunculkan pertanyaan besar: apakah ini solusi, atau justru ancaman baru bagi ekonomi Indonesia?

IHSG yang terus melemah—turun dari 7.000 ke kisaran 6.000—menjadi indikasi jelas bahwa pasar merespons dengan skeptisisme. Investor mulai menarik dananya, tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin besar, dan ancaman resesi pun membayang.

Danantara: Harapan atau Justru Masalah Baru?

Sejak awal, banyak yang mempertanyakan model bisnis Danantara. Pemerintah mengklaim holding ini akan memperkuat ekonomi nasional dan mengoptimalkan pengelolaan aset negara, tetapi pada kenyataannya, modal awalnya dipertanyakan.

“Bagaimana mungkin kita membentuk holding investasi negara di tengah defisit anggaran yang masih Rp400 triliun?” kata seorang ekonom yang enggan disebutkan namanya. “Kalau tidak ada sumber pendanaan yang jelas, apakah Danantara hanya akan menjadi cara lain untuk merombak aset BUMN?”

Di atas kertas, Danantara digadang-gadang memiliki kekayaan hingga Rp14.000 triliun. Namun, angka ini bukan berbentuk uang tunai melainkan akumulasi aset BUMN yang sebagian besar berbentuk infrastruktur, saham, dan sumber daya alam. Dengan kata lain, Danantara hanya bisa berjalan jika aset-aset ini bisa dioptimalkan, bukan sekadar dicatat sebagai angka di laporan keuangan.

Masalahnya, kondisi BUMN sendiri tidak sedang baik-baik saja. Garuda Indonesia, Taspen, dan ASDP misalnya, masih dalam bayang-bayang utang besar. Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, terpaksa merumahkan 15 ribu karyawannya akibat tekanan ekonomi. Jika perusahaan-perusahaan ini dimasukkan ke dalam Danantara tanpa restrukturisasi yang jelas, bukannya memperkuat ekonomi, holding ini justru bisa menjadi beban baru bagi negara.

Ekonomi Tertekan, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Di tengah situasi ini, banyak pihak mulai mempertanyakan arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo. Saat Donald Trump berani mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang China untuk melindungi industri dalam negeri, Indonesia justru membiarkan arus impor terus mengalir deras, tanpa proteksi yang jelas terhadap industri lokal.

Padahal, jika kebijakan yang tepat diterapkan, banyak sektor yang bisa diselamatkan. Sritex, misalnya, hanya membutuhkan suntikan dana Rp26 triliun—jauh lebih kecil dibandingkan dugaan korupsi di Pertamina yang mencapai Rp1.000 triliun.

Selain itu, beberapa ekonom juga mengusulkan agar sektor minerba (mineral dan batubara) lebih dioptimalkan. PT Antam, PT Timah, hingga Freeport Indonesia bisa menjadi sumber modal Danantara, jika dikelola dengan baik. Namun, ini pun membutuhkan keberanian politik untuk memastikan bahwa kekayaan alam benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir oligarki.

Mimpi Besar, Eksekusi yang Masih Dipertanyakan

Danantara, dalam konsepnya, bukan ide yang sepenuhnya buruk. Banyak negara memiliki sovereign wealth fund sebagai instrumen investasi negara. Namun, keberhasilan model ini sangat bergantung pada transparansi, pengelolaan yang profesional, serta independensi dari kepentingan politik.

Jika Danantara hanya menjadi tempat “parkir” bagi aset negara tanpa pengelolaan yang jelas, maka harapan bahwa holding ini akan menjadi tulang punggung ekonomi nasional bisa berakhir sebagai mimpi kosong. Yang lebih mengkhawatirkan, jika korupsi di BUMN terus dibiarkan, maka Danantara bisa menjadi “ladang baru” bagi praktik-praktik korupsi yang lebih sistematis.

Saat ini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah Danantara akan menjadi alat untuk memperkuat ekonomi, atau justru menjadi proyek ambisius yang gagal, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, rakyat tidak bisa terus menjadi penonton di tengah permainan elite yang mempertaruhkan masa depan negeri ini, Semoga !!

Penulis adalah wartawan dan pemerhati sosial politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *