Ibadah haji bukan panggung kekuasaan. Tapi rupanya, sebagian pejabat masih menjadikan Tanah Suci sebagai ladang prestise, bukan medan penyucian diri. Dugaan keberangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ir. Asmar Wijaya, bersama istrinya melalui jalur khusus non-reguler untuk berhaji tahun 2025 adalah tamparan keras terhadap rasa keadilan umat.

Di tengah antrean masyarakat biasa yang harus menunggu hingga 10 tahun lebih untuk bisa mencium Hajar Aswad, seorang pejabat justru bisa ‘terbang’ dengan mudahnya, diduga menyusup dalam kuota Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)—jalur khusus yang semestinya dihuni oleh mereka yang benar-benar punya peran melayani jemaah, bukan numpang status demi gelar “Haji”.

Perbedaan antara jemaah reguler dan petugas sangat jelas. Jemaah reguler masuk dalam sistem antrean nasional, mendaftar dengan setoran awal, lalu menunggu hingga puluhan tahun. Sementara itu, jalur petugas haji dibuka melalui rekrutmen ketat, diseleksi berdasarkan kompetensi, kebutuhan teknis, dan kemampuan melayani ribuan jemaah.
Petugas haji bukan wisatawan spiritual.

Mereka adalah pekerja ibadah yang menjalankan tugas profesional—dokter, pembimbing ibadah, pengatur logistik, dan pengawas lansia. Tapi ketika pejabat administratif seperti Sekda OKI—yang tidak memiliki kompetensi fungsional keagamaan atau medis—tiba-tiba bisa masuk ke dalam daftar keberangkatan petugas, maka jelas ada penyusupan sistematis yang melibatkan manipulasi dan pengaruh kekuasaan. Lebih tragis lagi, istrinya juga ikut. Pertanyaannya: dalam kapasitas apa? Petugas apa?

Baca juga :  Berlangsung Penuh Kekeluargaan, Polres OKI Gelar Buka Bersama dengan Puluhan Awak Media.

Pernyataan Kasubag TU Kemenag OKI, Muazni, yang menyebut bahwa pihaknya “hanya jadi penonton” dalam proses rekrutmen, membongkar fakta penting: kewenangan ada di provinsi dan pusat. Artinya, celah manipulasi sangat mungkin terjadi jika ada intervensi dari atas atau ‘arahan khusus’ dari tangan-tangan yang punya pengaruh di jalur birokrasi.