Kalau Tan Malaka hidup hari ini, barangkali ia akan bilang:
“Jalan berlubang adalah cermin. Siapa yang tak malu menatapnya, dialah penindas sejati.”

Sayangnya, sebagian pejabat lebih takut pada komentar media sosial daripada pada murka sejarah.

Dan bicara soal murka—lihatlah bagaimana guru yang menyampaikan kritik di media sosial justru diminta “klarifikasi”. Di negeri yang mengaku demokratis ini, kritik adalah perkara berisiko. Pemimpin boleh viral, tapi rakyat jangan terlalu vokal.

Sungguh ironi: yang membiarkan jalan rusak bebas bersliweran, tapi yang bicara jujur malah harus tiarap.
“Pemimpin kita luar biasa,” kata seorang pedagang sambil menepuk motornya yang pelek-nya penyok. “Dia bisa joging di atas lubang dan tetap percaya diri.”

Di negeri para influencer, pencitraan lebih penting dari pembangunan. Tak heran, rakyat mulai berpikir: barangkali lubang-lubang ini sengaja dibiarkan untuk memberi panggung dramatis bagi blusukan dadakan. Semacam panggung sandiwara jalanan—versi anggaran miliaran.

Dan jika kita terus diam, lubang itu akan jadi warisan. Jalan-jalan akan tetap berlubang, guru akan tetap diklarifikasi, dan pemimpin akan tetap tersenyum di atas sepeda, mengayuh menuju likes berikutnya.

Baca juga :  Merakyat, Pejuang Rakyat atau Pejuang Kekuasaan?

Sementara itu, kita—rakyat biasa—hanya bisa menonton dari pinggir jalan, sambil berharap satu hal kecil:
Semoga lubang di jalan tak sebesar lubang nurani mereka.

Ali Prawinata, S.H., M.H.
Penulis tinggal di Merangin, Jambi, dan sedang menunggu kapan jalan itu akhirnya diaspal. (**)