Ini bukan kesalahan teknis. Ini adalah kejahatan moral yang dilakukan secara sadar. Ketika kekuasaan digunakan untuk memperpendek antrean haji, maka kita tidak lagi bicara soal pelanggaran prosedur, tapi pengkhianatan terhadap nilai ibadah itu sendiri. Mereka berhaji dengan menyikut rakyat yang taat mengantri. Mereka ‘mencuri’ hak orang lain yang lebih pantas.
Ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu—tapi tidak ada satu pun ayat atau hadits yang mengatakan “yang berkuasa boleh mendahului.” Kekuasaan bukan syarat sah ibadah. Justru jabatan adalah ujian apakah seseorang mampu menjaga keadilan dan integritas dalam hal sekecil apa pun—termasuk cara menuju Tanah Suci.
Jika seorang pejabat bisa berangkat haji dengan cara tidak layak, apakah kita masih bisa percaya pada kebijakan yang mereka buat? Jika status “Haji” didapat dari penyalahgunaan jalur, apakah yang mereka cari adalah kemabruran atau gengsi semata?
Menteri Agama, Kemenag Provinsi, dan lembaga pengawas publik harus segera turun tangan. Buka data keberangkatan haji khusus tahun ini. Publikasikan nama-nama petugas, jabatan, peran, dan hasil seleksi mereka. Jangan biarkan kuota suci dijadikan ruang kotor oleh segelintir elit birokrasi. Jika dibiarkan, ini akan menjadi penyakit tahunan yang menggerogoti kesakralan ibadah.
Masyarakat sudah terlalu sabar. Mereka menabung bertahun-tahun, berharap menunaikan rukun Islam kelima dengan jujur dan tulus. Tapi justru yang merusak kesucian itu datang dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan—dan itu jauh lebih memalukan daripada sekadar korupsi anggaran. Karena ini adalah korupsi spiritual, pencemaran terhadap sesuatu yang mestinya paling bersih: ibadah kepada Allah.

Leave a Reply