Di tengah situasi ini, banyak pihak mulai mempertanyakan arah kebijakan ekonomi pemerintahan Prabowo. Saat Donald Trump berani mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang China untuk melindungi industri dalam negeri, Indonesia justru membiarkan arus impor terus mengalir deras, tanpa proteksi yang jelas terhadap industri lokal.
Padahal, jika kebijakan yang tepat diterapkan, banyak sektor yang bisa diselamatkan. Sritex, misalnya, hanya membutuhkan suntikan dana Rp26 triliun—jauh lebih kecil dibandingkan dugaan korupsi di Pertamina yang mencapai Rp1.000 triliun.
Selain itu, beberapa ekonom juga mengusulkan agar sektor minerba (mineral dan batubara) lebih dioptimalkan. PT Antam, PT Timah, hingga Freeport Indonesia bisa menjadi sumber modal Danantara, jika dikelola dengan baik. Namun, ini pun membutuhkan keberanian politik untuk memastikan bahwa kekayaan alam benar-benar dikelola untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir oligarki.
Mimpi Besar, Eksekusi yang Masih Dipertanyakan
Danantara, dalam konsepnya, bukan ide yang sepenuhnya buruk. Banyak negara memiliki sovereign wealth fund sebagai instrumen investasi negara. Namun, keberhasilan model ini sangat bergantung pada transparansi, pengelolaan yang profesional, serta independensi dari kepentingan politik.
Jika Danantara hanya menjadi tempat “parkir” bagi aset negara tanpa pengelolaan yang jelas, maka harapan bahwa holding ini akan menjadi tulang punggung ekonomi nasional bisa berakhir sebagai mimpi kosong. Yang lebih mengkhawatirkan, jika korupsi di BUMN terus dibiarkan, maka Danantara bisa menjadi “ladang baru” bagi praktik-praktik korupsi yang lebih sistematis.
Saat ini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah Danantara akan menjadi alat untuk memperkuat ekonomi, atau justru menjadi proyek ambisius yang gagal, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, rakyat tidak bisa terus menjadi penonton di tengah permainan elite yang mempertaruhkan masa depan negeri ini, Semoga !!
Penulis adalah wartawan dan pemerhati sosial politik.

Leave a Reply